05 Desember, 2007

suplemen

Mengawasi Suplemen, Melindungi Konsumen

KASUS penarikan produk Pan Pharmaceuticals Limited Australia membuka perspektif baru dalam menyikapi makanan. Masyarakat jadi tersadar dan mengkaji kembali perlu tidaknya menggunakan suplemen makanan serta faktor keamanannya.

SECARA garis besar, suplemen makanan adalah suatu produk makanan yang mempunyai peranan dalam membantu metabolisme tubuh sehingga akan meningkatkan derajat kesehatan manusia. Karena bersifat makanan, pengawasannya tak seketat obat. Bahkan, di Amerika Serikat suplemen makanan atau dietary supplement tak diregistrasi oleh Food and Drug Administration (FDA). Di label dicantumkan Not Approved by FDA. Masyarakat diminta menyeleksi sendiri suplemen makanan yang hendak dikonsumsi. FDA hanya campur tangan jika terjadi efek samping tak diinginkan.

Namun, Pemerintah Indonesia belum berniat meniru langkah AS. Pasalnya, tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat Indonesia dinilai belum setinggi masyarakat AS. Dengan demikian, pemerintah merasa perlu mengawasi dan meregistrasi suplemen makanan yang beredar lewat Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) untuk melindungi konsumen. Dalam hal ini, Indonesia banyak mengacu pada Australia.

Di Australia, suplemen makanan dan produk herbal diklasifikasikan sebagai complimentary medicine dan diawasi pemerintah lewat the Therapeutic Goods Administration (TGA).

Perkembangan makanan kesehatan atau suplemen makanan didorong oleh kebutuhan masyarakat negara maju yang cenderung mengonsumsi zat gizi tidak seimbang sehingga berisiko terkena penyakit degeneratif, seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung, stroke, kanker, dan diabetes. Penyakit degeneratif juga meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk usia lanjut.

Selain itu, masyarakat perkotaan yang sibuk dan banyak mengalami stres ditambah lingkungan penuh polusi menimbulkan kebutuhan akan formula yang mampu menyediakan zat gizi seimbang serta sebagai penawar racun yang terbentuk dalam tubuh (antioksidan). Kebutuhan itu lantas direspons industri dengan memproduksi suplemen multivitamin, mineral dan asam amino, ditambah ekstrak tumbuhan yang dipercaya berkhasiat meningkatkan kesehatan.

Di Jepang berkembang makanan fungsional serta food for special health use (FOSHU), di Korea disebut health supplement dan di Cina dikenal sebagai healthy food.

Gaya hidup mengonsumsi suplemen makanan tak hanya terbatas di negara maju. Globalisasi membuat kalangan tertentu di negara berkembang mulai mengadopsi kecenderungan itu. Produk suplemen makanan mulai masuk Indonesia awal tahun 1990-an. Saat itu Pemerintah Indonesia belum siap menghadapi sehingga timbul masalah, antara lain produk sering diklaim sebagai obat, penjual lebih banyak menjelaskan keunggulan daripada efek samping bila dikonsumsi dalam jumlah berlebihan.

MENGINGAT sifatnya sebagai penyeimbang kebutuhan gizi, suplemen tak bisa dikonsumsi secara bebas. Selain itu, ada kemungkinan mutu produk yang beredar tak sesuai standar atau tak memiliki efektivitas sebagaimana klaimnya.

Oleh karena itu, pada tahun 1996 terbit Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan tentang Suplemen Makanan Nomor HK.00.063.02360. Di dalamnya diatur batasan suplemen makanan, batasan kadar vitamin, mineral dan asam amino, bahan tambahan makanan yang diperbolehkan untuk digunakan dalam suplemen makanan, persyaratan higiene dan keamanan, persyaratan kemasan, pelabelan serta periklanan dan promosi.

Suplemen makanan didefinisikan sebagai produk yang digunakan untuk melengkapi makanan yang mengandung satu atau kombinasi bahan, yaitu vitamin, mineral, tumbuhan atau bahan yang berasal dari tumbuhan, asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka kecukupan gizi (AKG), konsentrat, metabolit, konstituen, dan ekstrak. Suplemen makanan bisa berbentuk tablet, tablet isap, tablet effervescence, serbuk, kapsul, serta produk cair berupa sirup atau larutan.

Suplemen tidak boleh mengandung bahan asing selain yang tercantum dalam label, tidak mengandung mikro-organisme patogen (bisa menimbulkan penyakit), tidak mengandung mikro-organisme atau zat yang berasal dari mikro-organisme dalam jumlah yang membahayakan kesehatan, dan tidak mengandung zat racun atau zat berbahaya dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan.

Dalam label harus dicantumkan antara lain petunjuk penyimpanan, masa kedaluwarsa, efek toksik akibat kelebihan masukan zat gizi, dan takaran saji serta maksimum penggunaan per hari. Label tidak boleh mencantumkan klaim efek produk terhadap kesehatan, pencegahan atau penyembuhan penyakit, informasi yang tidak benar atau menyesatkan, perbandingan dengan produk lain, promosi produk suplemen makanan lain, dan informasi tambahan dalam bentuk stiker yang isinya belum disetujui.

"Suplemen makanan bukan ditujukan untuk pengobatan atau pencegahan suatu penyakit, melainkan untuk tujuan pemeliharaan kesehatan, sebagai nutrisi pada sistem organ tubuh atau pada keadaan tertentu di mana terjadi peningkatan kebutuhan asupan gizi, misalnya masa kehamilan, menyusui, dan masa penyembuhan," jelas Kepala Badan POM Drs Sampurno.

Oleh karena itu, suplemen makanan hanya boleh mengklaim fungsi nutrisi, misalnya kalsium membantu perkembangan tulang dan gigi yang kuat, protein membantu pembentukan dan memperbaiki jaringan tubuh, besi adalah faktor dalam pembentukan sel darah merah, dan asam folat berperan pada pertumbuhan janin yang normal.

Sampai akhir April 2003 ini tak kurang dari 3.742 jenis dan merek suplemen makanan terdaftar di Badan POM. Rinciannya, 1.087 merupakan produk lokal, 2.653 produk impor, dan dua merupakan produk lisensi.

Kode pendaftaran suplemen makanan ditandai dengan huruf S. SI berarti suplemen makanan impor, sedang SD merupakan produk dalam negeri. Di pasaran masih beredar kode registrasi transisi, yaitu B yang artinya berbatasan. BTR berarti suplemen makanan yang berbatasan dengan obat tradisional. BML adalah suplemen makanan impor yang berbatasan dengan makanan dan BMD berarti dari dalam negeri.

Tak seperti AS atau Australia, Indonesia memisahkan suplemen makanan dengan obat tradisional. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan dari tumbuhan, hewan, mineral, dan sediaan galenik (ekstrak rimpang) yang secara tradisional digunakan untuk pengobatan. Klaim yang diperbolehkan adalah yang menggunakan istilah tradisional atau digunakan untuk membantu pengobatan (sebagai penunjang).

AKHIR April TGA membekukan lisensi Pan Pharmaceuticals menyusul kasus obat antimabuk perjalanan Travacalm-salah satu obat bebas yang diproduksi Pan Pharmaceuticals-yang di Australia menyebabkan 19 orang harus dirawat di rumah sakit dan 68 orang lain mengalami efek samping yang berpotensi membahayakan jiwa. Tanggal 1 Mei TGA mengumumkan jumlah final jenis obat dan suplemen makanan yang harus ditarik dari peredaran berkaitan dengan tak dipenuhinya syarat cara produksi yang baik (GMP), yaitu sejumlah 1.369 produk.

Tanggal 2 Mei Badan POM langsung mengontak TGA untuk mendapatkan informasi. Berdasarkan data registrasi Badan POM, produk Pan Pharmaceuticals yang terdaftar di Indonesia berjumlah 100 produk berupa suplemen makanan/produk herbal (lihat tabel).

"Pangsa pasar produk itu relatif sempit. Hanya dijual di jaringan apotek tertentu sehingga tidak sulit untuk mengamankan. Apalagi Asosiasi Pengusaha Suplemen Kesehatan Indonesia (APSKI) sangat kooperatif. Tanggal 3 Mei kami undang untuk membahas tindak lanjut atas produk Pan Pharmaceuticals. Pada hari itu pula pengurus APSKI meminta anggotanya untuk menarik seluruh produk," tutur Sampurno yang pada Minggu (4/5) langsung mengadakan jumpa pers untuk mengumumkan penarikan produk sembari menyerukan masyarakat untuk tidak membeli maupun mengonsumsi produk Pan Pharmaceuticals.

Untuk memastikan, petugas Badan POM terjun ke lapangan untuk langsung mengawasi penarikan produk dari peredaran. Yang ditarik tidak hanya produk dengan label Pan Pharmaceuticals, tetapi juga yang dijual dengan nama dagang perusahaan lain (pemegang lisensi). Untuk menandai, biasanya di kemasan tertulis "Manufactured by Pan Pharmaceuticals". Demikian pula produk yang menggunakan bahan baku dari Pan Pharmaceuticals meski formulasi akhir dilakukan di pabrik lain.

Bagaimana menjamin produk itu nantinya tak dijual kembali? Menurut Sampurno, akan dicek batch produk yang dilarang untuk disortir dan dimusnahkan.

Dalam melaksanakan tugasnya, Badan POM melakukan pre market dan post market control. Pre market control adalah keharusan untuk mendaftarkan produk sebelum beredar. Untuk produk impor harus disertai certificate of analysis yang menjelaskan isi produk dan metode analisisnya. Selain itu, harus ada certificate of free sale yang menunjukkan produk juga dijual di negara produsen, tidak hanya untuk ekspor. Jika produk mengandung bahan yang belum dikenal di Indonesia, harus dilakukan uji keamanan di salah satu universitas yang ditunjuk Badan POM, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga.

Post market control dilakukan lewat pengambilan contoh produk secara acak oleh 26 Balai POM yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak kurang dari 70.000 contoh makanan, minuman, suplemen makanan, obat tradisional serta obat diperiksa tiap tahun. Untuk produk Indonesia dilakukan pula audit terhadap seluruh proses produksi apakah memenuhi syarat GMP.

Dari pengawasan bisa diketahui jika terjadi penyimpangan. Misalnya, kasus minuman berenergi yang di label dicantumkan jumlah zat penambah energi 50 mg. Setelah diperiksa, ternyata 80 mg sehingga diminta ditarik dari peredaran. Demikian pula kasus obat tradisional untuk mengatasi disfungsi ereksi yang setelah diperiksa, ternyata dicampur Viagra serta jamu produksi Cilacap yang mengandung bahan kimia obat. Aturan di Indonesia menyatakan, obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia atau isolat murni yang berkhasiat sebagai obat.

Badan POM telah melakukan tugasnya. Namun, keamanan produk yang beredar di pasaran tak terlepas dari tanggung jawab dan kejujuran produsen serta selektivitas dan kekritisan konsumen dalam memilih produk yang diperlukan. (ATIKA WALUJANI)

http://kompas.com/kompas-cetak/0305/11/Fokus/306422.htm